Manusia baru dapat terhindar dari penyakit dosa dan kejahatan-kejahatan  tatkala ia meyakini bahwa dosa dan kejahatan itu lebih berbahaya dan  lebih memudhoratkan dari seorang pencuri, ular atau binatang buas  lainnya dsb. Dan tatkala keperkasaan, keagungan serta wibawa Allah  setiap saat menjadi pertimbangannya.
Dalam keseharian kita, terlihat nyata bahwa manusia dapat meninggalkan  keinginan, kemauan, dan kehendak-kehendak hatinya. Misalnya seorang yang  sakit diabetes, dokter benar-benar melarangnya dari memakan makanan  yang manis. Maka orang itu, demi nyawanya, menyentuh makanan-makanan  manis pun dia tidak mau. Jadi demikian pula halnya keinginan rohani dan  dorongan nafsu. Jika keagungan dan keperkasaan Allah ta'ala telah  tertanam di dalam kalbunya dengan benar, maka sikap tidak mentaati Allah  akan dia rasakan lebih buruk dari memakan api dan lebih buruk dari  maut.
Sekian banyak manusia mengetahui kekuasaan dan wibawa Allah ta'ala, dan  sekian banyak dia meyakini bahwa mengingkari-Nya merupakan suatu  hukuman yang berat, maka sebanyak itu pulalah akan menjauhi dosa,  kemungkaran dan menjauhi sikap melawan hukum. Lihat sebagian orang  mengalami "kematian" sebelum maut datang. Apa yang dialami oleh para  akhyaar, abdaal, dan quthub, apa yang terdapat pada diri mereka?  Jawabannya adalah keyakinan itu tadi. Pengetahuan yang penuh yakin serta  qath'i, secara pasti dan secara fitra memaksa seseorang untuk suatu hal  tertentu. Persangkaan mengenai Allah ta'ala tidaklah dapat mencukupi.  Keraguan tidak tidak dapt memberi manfaat. Pengaruh telah ditanamkan  hanya di dalam keyakinan. Pengetahuan yang penuh keyakinan mengenai  sifat-sifat Allah ta'ala, justru lebih banyak memberikan pengaruh  dibandingkan pengaruh yang ditimbulkan oleh halilintar yang sangat  menakutkan. Akibat pengaruh itulah orang-orang menundukkan kepala dan  membungkuk.
Jadi seberapa banyak keyakinan yang dimiliki seseorang, sebanyak itu  pulalah dia akan menghindari dosa.

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar